A. Muqoddimah

Pemikiran kontroversial adalah pemikiran yang kontraproduktif, distruktif, distortif, menyimpang, ngawur dan nyeleneh. Terhadap pemikiran seperti ini Al Qur’an dan As Sunnah sangat konsisten melakukan perlawanan. Bahkan terkadang melakukan koreksi total terhadap segala pemikiran yang “dhillun mudhollun”, meluruskan dan menggantinya dengan pemikiran yang konstruktif dan dinamis. Hal ini karena pemikiran konstruktif adalah penggerak roda kemajuan, pengarah gerbong reformasi, kendali tajdid, penuntun ke arah keselamatan dan penyelamat kehancuran. Karena itu tampilnya para pemikir yang oleh Al Qur’an digelari “Ulul Albab” dalam mempercepat laju tajdid (perubahan dan dan perbaikan) sekaligus mengeluarkan ummat dari keterpurukan merupakan sebuah keniscayaan. Nilai-nilai Islam menjadi acuan dan pengendali serta bingkai kegiatan kesehariannya. Bukan malah sebaliknya, tampil “asbun”  dan “asbed” (asal beda) dengan wajah baru yang lebih liberal dan semakin sekuler dari tampilan sebelumnya yang memang sudah rada-rada i’tizali, meskipun terkesan masih malu-malu kucing menampakkan warna aslinya.

Terkait dengan hal tersebut di atas, jika kita melihat sejarah pemikiran kontroversial, maka kita tidak bisa melepaskan pandangan kita terhadap pemikiran jahiliyah, dimana pemikiran jahiliyah ini merupakan sebuah produk pemikiran yang terlahir tidak secara alamiah melainkan memiliki benang sejarah dengan ummat pendahulunya.

Ibnu Mansur dalam karyanya ”Lisanul Arab” membagi kejahilan dalam dua macam, yaitu jahlul basith (kejahilan yang ringan) dan jahlul murakab (kejahilan yang berat berlapis-lapis). Kedua kejahilan itulah yang sesungguhnya menjadi sumber penyebab kesalahan, penyimpangan, kesesatan dan juga kejahatan manusia di muka bumi ini.

1. Kejahilan ringan (Jahlul Basith)
Yaitu kurangnya ilmu tentang sesuatu yang seharusnya diketahui. Mereka belum memperoleh informasi tentang kebenaran (al-Haq) sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan apa yang mereka ketahui sebagai suatu kebenaran. Contoh riil di zaman Rasulullah dalam kasus ini adalah seorang Badui (Arab Gunung) yang kencing didalam masjid Rasulullah SAW. Menyaksikan hal itu, Umar marah dan bermaksud memukul serta mengusir Si Badui tersebut. Tetapi Rasulullah mencegahnya dan meminta para sahabat beliau untuk mengambil air di ember kemudian menyiramnya hingga bersih.

2. Kejahilan berat (Jahlul Murakab)
Yaitu keyakinan yang salah dan bertentangan dengan fakta atau realitas. Mereka meyakini sesuatu yang berbeda dengan sesuatu itu sendiri. Mereka melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dengan yang seharusnya. Padahal telah sampai kepada mereka informasi tentang kebenaran (al-Haq) dengan hujjah yang meyakinkan dan dari sumber-sumber yang terpercaya. Kepada mereka juga telah datang para Nabi utusan Allah serta para penyeru ke jalan Allah yang lurus, tetapi mereka berpaling. Kasus penolakan Walid bin Mughirah dan para pembesar Qurays tentang kebenaran Muhammad serta Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai contohnya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, tentang latar belakang turunnya (asbabun nuzul) Surat Al Mudattsir ayat 18-25.
Walid bin Mughirah adalah seorang pakar dan cendikiawan Qurays yang sangat disegani. Ia penasaran mendengar masyarakat membicarakan tentang Muhammad dan ajaran yang dibawanya. Suatu hari, ia datang ke tempat tinggal Nabi, sedang beliau saat tengah melaksanakan shalat dan membaca Al-Qur’an.  Maka Walid mendengarkan dengan seksama kalimat demi kalimat apa yang beliau. Setelah usai, pulanglah Walid menemui kaumnya dari Bani Mahzum.

وَ اللهِ لَقَدْ سَمِعْتُ مِنْ مُحَمَّدٍ آنِفًا كَلاَمًا مَا هُوَ مِنْ كَلاَمِ اْلإِنْسِ وَلاَ مِنْ كَلاَمِ الْجِنِّ , وَاللهِ إِنَّ لَهُ لَحَلاَوَةً, وَإِنَّ عَلَيْهِ لِطَلاَوَةً, وَإِنَّ أَعْلاَهُ لَمُثْمِرٌ, وَإِنَّ أَسْفَلَهُ لَمُفْدِقٌ, وِإِنَّهُ يَعْلُو وَمَا يُعْلَى عَلَيهِ

Walid berkata: “Demi Allah, baru saja aku telah mendengarkan perkataan-perkataan Muhammad. Menurutku itu bukan perkataan manusia biasa dan juga bukan dari Jin. Demi Allah, sungguh perkataannya sangat manis, susunan katanya sangat indah, buahnya sangat lebat dan akarnya sangat subur. Sungguh perkataannya sangat agung dan tidak ada yang mampu menandingi keagungannya”.

Sejak itu, orang-orang Qurays ramai membicarakannya dan melaporkannya kepada Abu Jahal. Mereka menyebut bahwa Walid telah keluar dari agamanya, dan pasti akan diikuti oleh orang-orang Qurays lainnya. Setelah mendengar penjelasan mereka, Abu jahal berjanji kepada mereka: ”Aku akan membereskannya”. Abu Jahal kemudian mendatangi Walid dan duduk disampingnya dengan perasaan penuh kecemasan. Walid berkata, ”Mengapa engkau seperti orang ketakutan seperti itu, wahai anak saudaraku?” Abu Jahal menjawab: ”Bagaimana saya tidak ketakutan wahai paman, orang-orang Qurays pada mengumpulkan harta benda mereka untuk diberikan kepadamu, karena engkau telah mendatangi Muhammad”.

Mendengar hal itu, Walid merasa terhina dan marah. Ia berkata, ”Bukankah mereka tahu bahwa aku memiliki harta dan anak-anak lebih banyak dibandingkan mereka semua?” Abu Jahal menjawab: ”Jika demikian, sudilah kiranya paman mengatakan tentang Muhammad yang menunjukkan bahwa engkau sebenarnya mengingkari dan membencinya. Sampaikanlah wahai paman sikap itu dihadapan kaummu!” 

Walid bersama Abu Jahal kemudian mendatangi tempat orag-orang Qurays berkumpul. Sesampai dihadapan mereka, Walid berkata,

تَزْعُمُوْنَ أَنَّ مُحَمَّدًا مَجْنُوْنٌ فَهَلْ رَأَيْتُمُوْهُ يَخْنِقُ قَطٌّ؟ قَالُوْا : اَللَّهُمَّ لاَ, قَالَ : تَزْعُمُوْنَ أَنَّهُ كَاهِنٌ, فَهَلْ رَأَيْتُمُوْهُ قّطٌّ تَكَهَّنَ؟ قَالُوْا : اَللَّهُمَّ لاَ, قَالَ : تَزْعُمُوْنَ أَنَّهُ شَاعِرٌ, فَهَلْ رَأَيْتُمُوْهُ يَنْطِقُ بِشَعِرٍ قَطٌّ؟ قَالُوْا : اَللَّهُمَّ لاَ, قَالَ : تَزْعُمُوْنَ أَنَّهُ كَذَابٌ, فَهَلْ جَرَبْتُمْ عَلَيْهِ شَيْئًا مِنَ الْكذِبِ؟ قَالُوْا : اَللَّهُمَّ لاَ!

Wahai kaumku, kalian mengatakan bahwa Muhammad itu gila. Apakah kalian pernah melihat Muhammad berbicara sendiri?” Mereka menjawab: ”Tidak, demi Allah!”. Walid melanjutkan: ”Kalian mengatakan bahwa Muhammad itu adalah dukun (kahin). Apakah kalian pernah melihat Muhammad melakukan praktek perdukunan?” Merekapun menjawab: ”Tidak pernah!”. Walid bertanya lagi: ”Kalian mengatakan bahwa yang dikatakan Muhammad itu adalah syair (pusi). Apakah kalian pernah melihat Muhammad membuat syair?” Mereka menjawab: ”Juga tidak”. Lagi Walid bertanya untuk ke sekian kalinya: ”Kalian mengatakan bahwa Muhammad itu pendusta. Apakah kalian pernah mengetahui Muhammad berdusta?” Mereka juga menjawab: ”Demi Allah, tidak pernah sekalipun!”. Mereka bertanya kepada al-Walid, Lalu, kalau demikian apakah yang diucapkan oleh Muhammad itu?”

Walid terdiam dan kebingungan. Ia minta untuk diberikan kesempatan untuk berfikir dan menyendiri. Beberapa saat kemudian, Walid bin Mughirah kembali dan mengatakan dihadapan kaumnya, ia berkata,

مَا هُوض إِلاَّ سَاحِرٌ, أَمَا رَأَيْتُمُوْهُ يُفَرِّقُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ زوَمَوَالِيْهِ

”Itu semua tidak lain adalah sihir yang dipelajari dari orang-orang dahulu!”. Bukankah kalian mengatakan bahwa ucapan Muhammad dapat memisahkan seseorang dengan keluarganya, suami dengan istrinya dan orang tua dengan anak-anaknya?”

Dalam kasus pertama, Si Badui yang kencing didalam masjid oleh Rasulullah saw dianggap sebagai kejahilan kecil saja, karena dilakukan oleh orang awam disebabkan ketidaktahuannya tentang ajaran Islam. Karena itulah ketika Umar bermaksud menggunakan kekerasan untuk menyelesaikannya, Rasulullah saw  mencegahnya. Dan memerintahkan kepada para sahabat untuk mengambil air di ember dan menyiramnya. Kejahilan seperti ini dapat ditolelir. Kelak Si Badui yang jahil itu akan berubah juga setelah diberikan penjelasan atau diberi contoh yang benar.

Sedangkan kejahilan kedua, yang dilakukan oleh para cendikiawan dan pembesar Qurays ini merupakan kejahilan besar yang tidak dapat ditolelir. Mereka bukan orang-orang awam yang bodoh, bahkan sesungguhnya mereka orang-orang yang cerdas dan mampu memahami yang benar dari yang salah. Merekapun tahu bahwa sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kebenaran dari Allah, bukan kata-kata Muhammad; tetapi mereka berpaling dan mengingkarinya. Bahkan mereka mempengaruhi orang lain untuk mengingkarinya, dengan berbagai hujjah yang mereka buat-buat. Mereka sesungguhnya tahu kebenaran tapi tidak mau mengakuinya, mereka orang-orang sesat dan menyesatkan. Maka kelompok yang kedua ini tidak dapat dimaafkan oleh Allah swt, sehingga diabadikan pengingkaran serta kesombongan mereka dalam Al-Qur’an, sebagai pelajaran bagi ummat setelahnya.

”Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya). Maka celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan. Sesudah itu dia bermasam muka dan merengut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Lalu dia berkata: “(Al Qur’an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia”.(QS. Al-Mudattsir [74]: 18-25)

Problema yang dihadapi oleh ummat Islam hari ini sesungguhnya juga tidak terlepas dari dua model kejahilan ini. Di satu sisi masih banyak kita temukan ummat Islam yang kurang memahami ajaran Islam, sehingga mereka melakukan hal-hal yang dilarang serta meninggalkan yang diperintahkan. Atau melakukan hal-hal yang mereka sangka sebagai ajaran Islam padahal bukan. Seperti: maraknya kesyirikan, khurafat serta amalan-amalan bid’ah dan sejenisnya.

Disisi lain dewasa ini juga tidak sedikit yang termasuk dalam kategori kaum cendikiawan yang mempelajari Islam, tetapi mereka memiliki pemikiran yang menyimpang dari prinsip-prinsip Islam yang telah disepakati oleh salafus shaleh dan ulama-ulama Islam. Dan yang lebih memprihatinkan lagi merekalah yang menggugat kebenaran Islam.

Bukan hal baru jika belakangan ini orang-orang mengaku doktor, datang membawa pikiran-pikiran aneh dan menyesatkan umatnya. Meski mereka mengaku dari kampus-kampus Islam, mereka tak segan-segan mengugat kebenaran Al-Qur’an dan al-Hadits, mereka anggap Rasulullah Saw seperti manusia pada umumnya – seolah-olah sama dengan dirinya. Mereka mengembangan logika berfikir menyesatkan. Seolah semua agama sama dan semua agama bisa masuk surga. Inilah kejahilan modern yang sangat membahayakan bagi masa depan aqidah generasi muslim.

Meski kedua bentuk kejahilan di atas sama-sama membuat kerusakan, namun kejahilan berbahaya adalah kejahilan yang dilakukan oleh orang-orang cerdik-pandai dan penguasa. Sebab kejahilan itu akan menciptakan kerusakan yang jauh lebih dahsyat bagi keimanan, kehidupan dan kemanusiaan. Karena itu, tantangan berat bagi kita semua untuk mencegahnya!

B. Koreksi al-Quran terhadap pemikiran kontroversial
Dengan gayanya sendiri, Al Qur’an tampil menelanjangi dan menguliti pola pikir jahiliyah yang paganis dan pola pikir ahli kitab yang judaism. Berikut ini beberapa contoh koreksi Al Qur’an terhadap pemikiran yang menyimpang tersebut.

1. Al Qur’an mengoreksi persepsi musyrikin jahiliyah tentang iman yang hanya berhenti pada tauhid rububiyah semata.

“Orang-orang Arab Badui itu berkata : “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka) : “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan hata dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah  orang-orang yang benar”. (QS. Al Hujurat [49]:14-15).

Al-Qur’an juga meluruskan pemahaman ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) tentang hakikat kebajikan sejati menyusul  debat kusir mereka tentang arah kiblat mereka yang bertolak belakang. Yahudi menghadap arah matahari terbenam, sedang Nasrani menghadap arah matahari terbit. Al Qur’an turun mengoreksi secara tuntas,
 
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu  ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang muskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al Baqarah [2]:177).

3. Al-Qur’an membetulkan kekeliruan pemahaman sebagian masyarakat musyrikin Arab dan munafiqin yang mengatakan bahwa orang yang mati terbunuh dalam perang fi sabilillah (pada jalan Allah) sama dengan kematian pada umumnya. Persangkaan semacam ini ditolak dan digantikan dengan pemahaman baru yang lebih baik dan mutlak kebenarannya. Allah berfirman :

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkab karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang  hati terhadap orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran  terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. “Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman”.(QS. Ali Imran [3]:169-171).
Difirmankan pula :

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al Baqarah [2]:154).

Kemuliaan mati syahid itu digambarkan pula oleh Rasulullah saw. dalam hadistnya, beliau bersabda :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الشُّهَدَاءُ عَلَى بَارِقِ نَهْرٍ بِبَابِ الْجَنَّةِ فِى قُبَّةٍ خَضْرَاءَ يَخْرُجُ عَلَيْهِمْ رَزْقُهُمْ مِنَ الْجَنَّةِ بُكْرَةً وَعَشِيًّا (رواه أجمد)

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata, telah bersabda Rasulullah saw  : “Para syuhada itu berada pada tepi sungai dekat pintu surga, mereka berada dalam sebuah kubah yang hijau. Hidangan mereka dikeluarkan dari surga itu setiap pagi dan sore”. (HR. Ahmad).

Para syuhada itu menikmati pemberian-pemberian Tuhan dan karena itu mereka ingin mati syahid berulang kali, sehingga kembali berjihad di jalan Allah. Rasulullah saw melukiskan,

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَامِنْ نَفْسٍ تَمُوْتُ لَهَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ يَسُرُّهَا أَنْ تَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا إِلاَّ الشَّهِيْدُ فَإِنَّهُ يَسُرُّهُ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا فَيُقْتَلُ مَرَّةً أُخْرَى مِمَّا يَرَى مِنْ فَضْلِ الشَّهَادَةِ (رواه مسلم)

“Dari Anas, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tidak ada seseorang yang telah mati dan memperoleh kemenangan di sisi Tuhan, kemudian ingin kembali ke dunia kecuali orang yang mati syahid. Ia ingin dikembalikan ke dunia, kemudian mati syahid lagi. Hal itu disebabkan karena besdarnya karunia yang diterimanya”. (HR. Muslim).

4. Al-Qur’an membantah persepsi orang-orang musyrik jahiliyah yang  menganggap bahwa memberi minuman kepada para hujjaj dan mengurus Masjidil Haram lebih utama dari beriman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya. Allah swt berfirman,

“Apakah (orang-orang) yang memberi minum kepada orang-orang yang mengerjakan hajji dan mengurus Majidil Haram , kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim”. “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan”.(QS. At Taubah [9]:19-20).

5. Al-Qur’an membantah klaim orang-orang Yahudi dan bahwa mereka :
a. Tidak akan masuk neraka kecuali hanya sebentar saja,


“Dan mereka berkata:”Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja”. Katakanlah:”Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. al-Baqarah [2]:80)

b. Penghuni surga hanya Yahudi atau Nasrani saja :

“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata:”Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah:”Tunjukkan kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (QS. al-Baqarah [2]:111)

c.  Yang benar hanya Yahudi atau Nasrani saja.

Dan mereka berkata:”Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk”. katakanlah:”Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik”. (QS. al-Baqarah [2]:135)

6. Al Qur’an membantah tuduhan kaum Nabi Musa yang menganggap bahwa Nabi Musalah penyebab datangnya “kesialan” kepada mereka, kemudian  meluruskannya,

“Dia berkata: “Hai kaumku Mengapa kamu minta disegerakan keburukan sebelum (kamu minta) kebaikan? hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat”. Mereka menjawab: “Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu”. Shaleh berkata: “Nasibmu ada pada sisi Allah, (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi kamu kaum yang diuji”.(QS. an-Naml [27]:46-47).

“Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang Karena kamu, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami”. Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu adalah Karena kamu sendiri. apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas”.(QS. Yasin 936]:17-19)

7. Ketika terjadi gerhana matahari di zaman Nabi saw. yang bertepatan dengan hari kematian Ibrahim, putera Nabi Saw., komentar miring dan persepsi kelirupun muncul. Sebagian orang menghubungkan peristiwa itu dengan kematian putra Rasulullah saw, katanya : “Telah gerhama matahari karena kematian Ibrahim”. Setelah selesai shalat khusuf (shalat gerhana) Rasulullah saw. berkhutbah, diantara isi khutbahnya menyangkal anggarapan takhayyul itu, beliau bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ أَيَتَانِ مِنْ اَيَاتِ اللهِ لاَيَنْكَشِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لَحَيَاتِهِ, فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُمَا فَادْعُوْا اللهَ وَصَلُّوْا حَتَّى تَنْكَشِفَ (متفق عليه)

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua-duanya tidak gerhana karena kematian seseorang dan tidak karena hidupnya. Karena itu, apabila kalian melihat keduanya (gerhana), maka berdo’alah kepada Allah dan dirikanklah shalat sampai gerhana itu lepas”. (HR. al-Bukhari, Fathul Bari ……..? Muslim, Syarah Shahih Muslim………..).
Wallahu A’lam

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama